Powered By Blogger

Sabtu, 21 Juli 2012

Mimpi part 1

MIMPI
Cerpen Ardy Kresna Crenata
JAM SEPULUH, AKU BARU BANGUN. Aku memang baru tidur sehabis shubuh. Semalam waktu tidurku kukorbankan untuk menyelesaikan novelku yang hanya tinggal penutup. Setelah hampir tujuh bulan, akhirnya selesai juga. Dengan begini bisa kuikutsertakan dalam lomba menulis novel yang diadakan DKJ. Deadline-nya tinggal sebelas hari lagi. Cukuplah kurasa untuk mengeditnya seharian ini lalu mengirimnya besok atau lusa via email.
Ugh, otot-otot pinggangku pegal karena duduk lebih dari enam jam. Sambil menggeliat kubuka gorden dan langsung saja cahaya matahari membuatku silau. Dengan malas aku melangkah ke kamar mandi. Istriku rupanya sudah berangkat ke sekolah. Sedangkan anak-anakku Resa dan Alina pastinya sedang terkantuk- kantuk di kelas karena tidurnya semalam banyak terganggu oleh teriakanku. Menyelesaikan novel tak pernah mudah. Sesekali aku lupa tokoh-tokoh yang kuciptakan, sesekali aku lupa adegan ini di hari apa sehingga aku terpaksa membaca-baca lagi chapter-chapter awal. Sungguh merepotkan. Kalau sudah kelewat pusing, aku suka berteriak-teriak tak karuan. Bukan teriak karena marah. Tapi hanya sekedar melepaskan kesal.
Maka di rumah ini kini aku hanya berdua dengan si Maya kucing kesayanganku. Istriku nampaknya lupa memberinya makan. Ketika aku duduk di sofa dan menyalakan televisi untuk melihat kasus-kasus korupsi
terbaru, si Maya langsung naik ke sofa. Kutunda dulu makanku dan kugendong si Maya ke belakang. Meskipun aku begitu menyayanginya, tak mungkin rasanya aku makan sepiring berdua dengan kucing. Bukan masalah jijik atau apa. Tapi penyakit. Maya bukanlah kucing yang seminggu sekali dimandikan di salon hewan terkenal. Bukan pula kucing yang rutin dibawa ke dokter untuk diperiksa kesehatannya. Maya hanya kucing biasa yang bahkan jarang kumandikan. Tak aneh jika di bulu-bulunya itu ada satu dua ekor kutu.
Aku sering heran dengan orang-orang yang suka mencium- cium kucingnya. Bahkan ada juga yang selalu membawa kucingnya ke tempat tidur untuk lelap bersama. Bukankah jika bulu kucing masuk ke hidung kita bisa menyebabkan kita terkena toxoplasmosisi, sejenis penyakit yang katanya bisa bikin mandul itu. Aku memang penyayang kucing, tapi aku memperlakukan Maya layaknya hewan, bukan manusia.
Di teras belakang Maya menungguku menurunkan sepiring nasi yang diaduk-aduk dengan ikan asin. Segera dia pun menyantapnya dengan lahap. “Nasi ini lembek, nggak enak,” tiba-tiba aku seperti mendengar Maya bicara.
“Ikannya juga. Terlalu asin.” Kali ini aku yakin mendengarnya bicara dalam bahasa manusia.
“Beneran deh. Coba saja sendiri.”
Aku kaget dan terdiam. Maya dengan pelan menggeser piring itu ke arahku. Kulihat matanya menatapku. Aku bingung. Aku tak tahu apa yang baru saja terjadi. Sesekor kucing bicara, itu hanya di film-film. Ah, mungkin tadi aku cuma salah dengar, pikirku.
“Buruan dicoba!” teriak Maya sembari menyeringai.
Aku ambruk ke belakang. Kusaksikan Maya membesar dan membesar. Di depannya aku seperti tikus ketakutan. Maya menerkamku.
***
AKU bangun dengan keringat di tubuh. Rupanya cuma mimpi. Untunglah. Kulihat jam. Jam enam. Aku hanya tidur satu jam. Pantas saja kepala ini rasanya berat. Gorden kamar masih tertutup. Di kamar mandi kudengar istriku sedang bersenandung ria.
“Eh, Bapak, sudah bangun?” tanya Alina yang sedang mengoleskan blueband ke roti di tangan kirinya.
“Alina, makan tuh pake tangan kanan,” kataku. “Jangan kaya setan.”
Alina menatapku heran tapi kubiarkan saja. Kepalaku ini rasanya seperti guci yang kebanyakan air. Sesekali bergoyang. Bergoyang. Pusing.
“Kakakmu mana?” tanyaku tanpa berbalik.
“Mungkin di kamar,” jawab Alina. “Belum bangun?”
“Udah,” jawab Resa yang kini telah siap berangkat. Dia kelihatan gagah dengan jaket kulit yang kubelikan di hari ulang tahunnya seminggu lalu.
“Untuk apa jaket itu dipake ke sekolah. Itu kan jaket mahal. Impor malahan.”
“Loh? Memang apa salahnya, Pak?” tanya Resa. “Sekolah itu bukan tempat pamer,” ucapku.
“Kalo nggak dipake untuk apa dibeli,” timpalnya sambil berjalan keluar.
“Nggak makan dulu?” tanyaku. “Nggak ah. Nggak laper.”
Resa berlari dan menghilang di pohon-pohon. Pohon? Sejak kapan di halaman rumahku tumbuh pohon-pohon tinggi. Dan lagi ini pohon cemara. Siap yang kurang kerjaan menaruh pohon- pohon cemara di halamanku. Ketika aku berbalik untuk menanyakannya pada Alina, aku kaget melihat anak perempuanku itu begitu lahapnya makan dengan tangan kiri.
“Alina! Sudah bapak bilang makan tuh pake tangan kanan! Kamu mau jadi temen setan apa?!” aku jadi sedikit emosi.
“Ada apa sih, Pak? Pagi-pagi gini udah berisik,” istriku menyela. Dia hanya mengenakan handuk dari dada sampai lutut. Butir-butir air masih terlihat di kulit tubuhnya. Tak seperti biasanya. Biasanya istriku keluar dari kamar mandi dalam keadaan sudah berbaju kaos. Pagi ini semuanya aneh, pikirku.
“Ini si Alina. Masa dia makan pake tangan kiri coba,” ujarku sambil menunjuk dengan tangan kiri.
“Ah, kan biasanya juga begitu,” timpal istriku enteng. “Biasanya?” aku terhenyak.
Dari arah dapur tiba-tiba muncul si Maya kucing kesayanganku. Tapi bukannya berjalan dengan empat kaki, ia berjalan dengan dua kaki layaknya manusia. Dan aku lebih kaget lagi, karena ia mengenakan handuk dari dada sampai lutut layaknya wanita habis mandi. Sama seperti istriku. Aku pingsan.
***
AKU seperti terbangun dari mimpi buruk. Ya, barusan itu memang mimpi buruk. Aku menarik napas panjang-panjang. Tiba-tiba kurasakan dingin di kulit-kulitku. Ini jam berapa? tanyaku dalam hati. Masih gelap. Istriku juga masih nyenyak di sampingku. Ada apa...
Go To part 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar