Powered By Blogger

Jumat, 20 Juli 2012

Indonesia Masa Depan part 2

. Ada saja orang yang sedikit terlalu cepat laju motor atau mobilnya. Jika sudah begitu seorang polisi akan mengejar dan menyuruhnya berhenti. Tapi bukan untuk ditilang, melainkan diberi peringatan dan himbauan untuk tidak melakukannya lagi. Jika sampai kedapatan melanggar lagi, barulah dikenakan tilang. Ternyata cara ini lebih ampuh ketimbang dengan gampangnya memberi tilang.
Satu hal yang benar-benar membuatku heran. Mengapa orang-orang di sekitarku pada ramah? Mengapa semua orang begitu ramah? Setiap kali berpapasan di jalan, biarpun tak begitu kenal, pasti saling memberi salam sambil sedikit menganggukkan kepala. Kalau ada yang kecelakaan dan kebetulan sedang banyak orang di sekitarnya, mereka dengan ramai-ramai menolongnya. Tak peduli kalau baju dan celana mereka jadi kotor nantinya. Tak peduli dengan bau bensin dan asap kotor. Nyawa manusia lebih penting, begitu sepertinya.
Ketika suatu hari kutanyakan hal itu kepada Rian, dia langsung menggaet tanganku dan membawaku menuju sebuah kelas. Kampusku, sungguh putih. Sejuk karena ditumbuhi beberapa pohon. Ada juga beberapa tempat yang mungkin bisa disebut taman bunga. Indah. Masing-masing fakultas punya kompleksnya sendiri. Dan tentu saja di setiap kompleks itu ada lift dan elevator sehingga aku tak perlu capek berlari untuk kuliah di lantai lima.

Aku dan Rian sudah duduk di sebuah kelas. Tidak penuh. Hanya sekitar dua per tiga kursinya terisi. Selalu begini. Entah apa karena mahasiswanya tak begitu banyak. Atau kebetulan saja setiap kelas yang kumasuki tak pernah penuh. Ini juga satu pertanyaan yang harus kutanyakan nanti.
Dosen masuk. Semua mahasiswa berdiri seperti biasanya. Setelah dosen duduk, kami pun duduk. Dosen seperti presiden saja, seperti hakim saja. Kuliah pun dimulai. Nama mata kuliah ini: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Setelah berganti nama jadi PKn ternyata kembali jadi PPKn. Senang sekali dinas pendidikan Indonesia mengubah- ubah nama. Mungkin bisa jadi proyek pengubahan nama ini menghasilkan uang banyak. Ada yang berbeda dari PPKn ini. Kami tak lagi dituntut untuk hapal pasal-pasal dalam UUD ’45 ataupun amandemennya. Kami tak lagi harus menghapalkan hal-hal lainnya. Yang diajarkan dosen di sini adalah cara bersikap, cara berbicara, cara menghadapi orang, pentingnya bertingkah laku baik, pentingnya menghargai hak-hak orang lain. Semuanya harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, kurasa begitu intinya. Rupanya karena ini warga Indonesia jadi begitu ramah dan begitu benci kekerasan. Coba kalau ini diterapkan di Indonesia masa lalu.
***
DALAM enam bulan aku sudah benar-benar nyaman dengan kehidupan ini. Aku sudah berani menjelajahi kota sendirian. Kini aku sedang berdiri di halte. Aku ingin membuktikan apa yang dikatakan Rian beberapa hari lalu bahwa penduduk Indonesia itu “sedikit”. Yang benar saja. Bukannya orang- orang Indonesia itu hobi bikin anak dan malas nyari kerja? Atau jangan-jangan sudah ketularan orang-orang Prancis yang tak mau punya anak? Anak itu mahal dan egois, begitu kira- kira alasan mereka. Lucu.
Bis datang. Kalian ingin tahu seperti apa bis di masa depan? Bersih. Benar-benar bersih. Ada televisi dengan channel lengkap. Ada AC. Ada tempat sampah. Ada toilet. Padahal ini kelas ekonomi. Entah seperti apa kalau kelas eksekutif. Kursi bis juga tidak pernah penuh. Dan memang ada
peraturan pemerintah yang melarang penumpang bis atau apapun itu berdiri selama perjalanan. Semua penumpang harus duduk karena itu haknya. Lagipula mereka yang berdiri membayar ongkos yang sama dengan yang duduk.
Di dalam bis begitu wangi. Bukan saja karena pengharum mobil dinyalakan. Tapi juga karena setiap orang mengenakan parfum tanpa berlebihan. Mungkin juga semua orang pakai deodoran, pikirku. Yang jelas tak pernah kulihat orang-orang bermuka kusam. Bersih. Semuanya serba bersih dan rapi. Bahkan sampai supir bis dan kernet saja bersih dan wangi. Apa jangan-jangan ada aturan kalau orang-orang Indonesia harus sering mandi? Mungkin. Aku tersenyum.
Aku turun. Selanjutnya kuputuskan untuk berjalan kaki menyusuri trototar yang selalu ramai tapi selalu bersih. Orang-orang di sini begitu disiplin membuang sampah sekecil apapun di tempat sampah yang banyak tersedia di sepanjang jalan. Aku bahkan yang kadang-kadang suka lupa. Barulah ketika seseorang mengingatkan, aku jadi malu dan membuang sampah itu pada tempatnya.
Lalu aku masuk ke café. Lalu ke bioskop. Ke mall. Aneh. Begitu banyak orang lalu-lalang di jalan dan trotoar. Tapi di café, di bioskop, di mall, di bis, rasanya sedikit. Ke mana orang-orang itu pergi? Masih penasaran. Aku lalu mencoba ke luar kota. Sudah lama aku ingin mencoba shinkansen. Aku heran kenapa namanya tidak diubah saja jadi kereta super cepat atau apalah. Rian bilang, “Itu permintaan orang Jepang. Yaa mereka kan yang ngasih.”
Aku sengaja naik shinkansen yang menuju Bogor. Sekalian ingin kubuktikan apakah benar sudah tak ada orang yang menggunakan bahasa daerah. Selama enam bulan ini melulu hanya bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Lama- lama aku kangen juga dengan bahasa Sunda.
Tapi di Bogor, yang lagi-lagi serba putih, memang tak ada lagi orang berbahasa Sunda. Semuanya Indonesia. Serba Indonesia. “Bahasa Sunda itu sudah jadi sejarah,” kata abang
baso ketika aku memesan di sana. “Beberapa tahun lalu mungkin orang-orang tua masih suka menggunakan bahasa Sunda. Tapi anak mudanya tak ada yang tertarik. Lama-lama ya punah juga.”
“Kalau bahasa daerah lainnya?” tanyaku. “Sama. Nggak beda jauh.”
Aku pulang. Lagi dengan shinkansen. Kukatakan lewat sms kepada Rian bahwa dia benar. Orang-orang Indonesia itu sedikit. Dia lalu meneleponku. Dan kami jadi ngobrol panjang selama perjalanan pulang itu. ***
INI hari terakhirku di sini. Besok pagi aku sudah harus kembali ke Indonesia di masa lalu. Tiba-tiba aku jadi tak mau pulang. Tapi setelah ingat ayah dan ibu, kubuang jauh-jauh rasa malas itu. Aku minta Rian menemaniku membeli oleh-oleh.
Kami kini sudah melaju di jalan yang selalu sibuk tapi tak penah macet. Ada satu tempat lagi yang ingin kusinggahi. Namanya MEMORI. Kata Rian itu semacam museum. Semua hal tentang masa lalu Indonesia ada di situ. Maka setelah merasa cukup membeli oleh-oleh, kami pun bergerak ke sana.
Di dalam Memori ada berbagai Memori. Ada Memori Seni, Memori Politik, Memori Bahasa, Memori Hukum, Memori Bencana, macam-macam. Karena hari sudah mulai sore dan aku belum menge-pack barang-barang, jadinya hanya sempat melihat-lihat Memori Bencana dan Memori Hukum. Itupun karena pertanyaan yang kuajukan kepada pemandu museum, “Kenapa orang-orang Indonesia jadi sedikit?” Di Memori Bencana digambarkan bencana-bencana
yang menimpa Indonesia. Mengerikan. Banjir. Gempa. Tsunami. Badai. Gunung meletus. Kebakaran hutan. Longsor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar