Powered By Blogger

Jumat, 20 Juli 2012

Indonesia Masa Depan part 1

INDONESIA DI MASA DEPAN Cerpen Ardy Kresna Crenata
AWALNYA AYAH DAN IBU SENANG BUKAN KEPALANG KETIKA KUKATAKAN BAHWA AKU MENDAPAT BEASISWA PERTUKARAN PELAJAR. Tapi mereka mendadak diam saat kujelaskan bahwa aku bukan akan pergi ke luar negeri, tapi ke masa depan. Ya, aku akan pergi ke Indonesia di masa depan. Program beasiswa ini terbilang baru dan belum banyak orang yang tahu. Aku sendiri secara tak sengaja menemukannya di internet. Go to Futuristic Indonesia. Itulah namanya. Aku sebenarnya agak heran kenapa nama program beasiswa ini dalam bahasa Inggris. Padahal masih di negeri sendiri. Mungkin biar menjual. Tahu sendiri kita orang-orang Indonesia lebih tertarik akan hal-hal berbau asing.
Persyaratan yang ditetapkan cukup unik. Pertama, harus warga negara Indonesia asli, bukan keturunan, bukan blesteran. “Memangnya kenapa kalau keturunan, Mas?” tanyaku pada salah satu panitia waktu mendaftar. “Ya mereka kan punya darah asing. Jadi nggak bener-bener Indonesia. Nasionalismenya kurang.” Begitulah katanya. Lucu sekali. Sejak kapan nasionalisme diukur dari darah dan silsilah?. Kedua, harus benar-benar lancar berbahasa Indonesia, dalam arti logat daerah harus sebisa mungkin hilang. Si Mas panitia itu bilang kalau di Indonesia masa depan itu sudah tak ada lagi bahasa daerah. Semuanya satu bahasa: bahasa Indonesia. “Nggak dipake juga sih di dunia kerja,” tambahnya.
Ketiga, harus lancar berbahasa Inggris. Katanya di masa depan Indonesia sudah jadi negara maju. Hampir sama dengan negara-negara Eropa. Tapi masih di bawah Cina, Jepang, dan Amerika. “Di sana kalau nggak bisa bahasa Inggris, bisa-bisa jadi gelandangan,” kata Mas panitia. Aku jadi penasaran. Ingin tahu apakah yang kudengar ini hanya bualan agar banyak yang ikut program beasiswa ini.
Tiga itu saja yang cukup unik. Syarat-syarat yang lainnya ya standar-standar saja: KTP dan foto terbaru 2x3 tiga buah, transkrip semester terakhir untuk yang kuliah, raport semester terakhir untuk yang masih SMA, akta kelahiran, surat kelakuan baik dari kepolisian, dan masih beberapa lagi. Setelah melengkapi syarat-syarat itu dan mengirimkannya lewat pos, lima hari kemudian aku dipanggil untuk wawancara. Hanya satu pertanyaan yang dilontarkan si pewawancara, “Kamu ingin Indonesia yang seperti apa?” Waktu itu kujawab, “Saya ingin Indonesia yang bebas dari segala bentuk kekerasan.” Jawaban yang naif. Tapi tak disangka itu justru menjadi kunci yang membuatku lolos wawancara. Kabarnya ada sekitar tiga ratus orang yang mendaftar. Tiga puluh diantaranya lolos wawancara dan akan disaring lagi dalam psikotest tiga hari lagi. Dari tiga puluh orang itu, hanya sepuluh yang akan menjadi wakil Indonesia masa kini di masa depan nanti.
Psikotest semuanya dalam bahasa Inggris. Pantas saja. Ini bisa dibilang semacam test kemampuan bahasa Inggris sekaligus melihat sejauh mana kepedulian seseorang terhadap Indonesia saat ini dan di masa depan.
Setelah mengerjakan seratus soal dalam seratus menit aku merasa pusing. Sambil menunggu pengumuman siapa saja sepuluh orang terpilih, aku pergi sebentar ke mini market terdekat untuk membeli roti dan minuman. Di kasir kuberikan selembar sepuluh ribuan. Tak lama kemudian di tanganku sudah ada satu lembar lima ribuan, satu lembar dua ribuan, dan empat buah permen.
“Nggak ada uang receh saja, Mbak?” tanyaku. “Nggak ada, Mbak. Permen saja nggak apa-apa ya,” jawab Mbak kasir sambil tersenyum.
Aku tiba-tiba jadi ingin tahu apakah di masa depan masih berlaku kembalian dalam bentuk permen. Atau jangan- jangan malah permen jadi alat tukar utama di mini market- mini market. Ah, yang benar saja.
***
AKU dan sembilan orang terpilih lainnya sudah berdiri di ruangan khusus. Semacam laboratorium kurasa. Tapi tak ada bahan-bahan kimia. Yang ada hanyalah mesin. Seperti yang sering kulihat di film-film Amerika. Ada banyak orang menggunakan jas lab warna putih. Mereka masing-masing menangani alat di hadapannya. Entah apa itu. Terlampau asing untuk kumengerti.
Seorang lelaki dengan perawakan sedang dan berkacamata mendekat. Dia lalu memandu kami ke sebuah ruangan yang dilingkupi kaca. Professor Arman, begitu dia mengenalkan diri, adalah orang yang menemukan mesin waktu yang kini tepat di hadapan kami. Mesin waktu ini ditemukan di masa depan. Lalu setelah dilakukan uji coba sampailah Professor Arman ke Indonesia saat ini. Dia pun melakukan sedikit modifikasi agar mesin ini bisa mengirimnya kembali ke masa depan. Sejak saat itu, mesin ini sudah seperti pesawat yang digunakan orang untuk bolak-balik ke luar negeri. Brilliant.
Selesai dengan semua penjelasannya, Professor Arman menyuruh kami menggunakan pakaian perjalanan. Kami jadi mirip astronot. Pakaian ini katanya untuk melindungi tubuh kami dari gesekan dan guncangan terhadap ruang waktu. Yah, aku tak memaksakan diri untuk memahaminya. Yang lain pun begitu kurasa. Oh ya, hampir lupa kuberitahu teman-teman seperjalananku ini. Empat wanita, lima pria. Jadi totalnya seimbang: lima wanita, lima pria. “Kita sebenarnya mau pergi ke tahun berapa?” tanya
Maya temanku dari Bali.
“Iya, dari tadi belum dibilang tuh,” sahut Jemmy dari Jambi. “Kalian akan pergi ke Indonesia di tahun 2156,” jawab
Professor Arman. “Kalian akan terkejut melihat Indonesia yang beda.”
“Oh… jadi tahun 2012 tuh nggak kiamat?” tanya Rika dari Bandung.
Professor Arman hanya tersenyum.
“Jadi penasaran nih…” ucap Bima dari Padang.
Lalu kami pun duduk di tempat kami masing-masing. Semacam kapsul. Di dalamnya kami bisa tidur dengan nyenyak karena begitu empuk. Dan memang kami harus tidur agar tidak mengalami gangguan visual dan memori atau apalah. Professor Arman menjelaskannya lumayan cepat. Untuk itu kami diharuskan meminum sejenis pil tidur. Tak lama kemudian aku sudah mengantuk. Lalu gelap.
***
TAHUN 2156. Sepuluh orang sudah menunggu kami di auditorium besar ini. Mereka adalah orang yang akan memandu kami selama satu tahun ke depan. Satu orang memandu satu orang. Kelihatannya cukup efektif. Kami lalu berpisah menuju tempat masing-masing. Sebenarnya masih di tempat yang sama. Toh kami yang kuliah akan kuliah di universitas yang sama. Dan kami yang sekolah akan sekolah di SMA yang sama. Mungkin beda gedung, apartemen, asrama atau apalah.
Aku ditemani pemanduku, Rian, memasuki sebuah pintu yang ternyata adalah lorong yang sangat panjang. Di sepanjang lorong yang serba putih itu aku tak banyak bertanya, dan Rian pun tak banyak menjelaskan. Kami hanya terus berjalan selama tujuh menit. Hingga akhirnya sampai juga di udara terbuka. Untuk pertama kalinya kedua mataku melihat Indonesia masa depan.
Luar biasa. Memang bukan kejutan lagi kalau Jakarta dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Tapi tak pernah kubayangkan semuanya serba putih. Bersih. Kulihat gedung di belakangku pun ternyata putih bersih. Memang di beberapa tempat ada garis-garis warna lain seperti hitam, merah, biru, hijau. Tapi warna putih tetap dominan. Dan ajaibnya tak sedikitpun terlihat kusam.
Saat kutanyakan kenapa semuanya serba putih, Rian menjawab, “Entahlah. Mungkin presiden dan ilmuwan- ilmuwan Indonesia begitu suka warna putih. Ya, kami warganya juga suka. Bersih.” Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Kukatakan pada Rian bagaimana kondisi Indonesia yang kutinggalkan: kotor, berdebu, panas. Rian hanya meresponnya dengan “Hmm..” dan “Oh…”.
“Sudah dua tahun berturut-turut Indonesia dinobatkan PBB sebagai negara terbersih di dunia,” kata Rian dengan bangga.
“Oh ya?? Kota-kota lain juga seperti ini?” tanyaku. Rian mengangguk. “Hampir semuanya. Tinggal Papua yang belum sempurna. Mungkin tahun depan baru benar- benar putih bersih.”
Masih dalam keadaan shock Rian membawaku mengarungi jalanan yang sibuk. Dia yang menyetir. Ada banyak sekali jalan layang. Di setiap persimpangan masih ada lampu lalu-lintas tapi dengan bentuk yang unik seperti kapsul. Tak ada polantas, tapi lalu lintas lancar-lancar saja. Tak ada macet. Tak ada bau bensin. Sepertinya semua kendaraan sudah menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Dan aku lagi-lagi terkejut melihat sebuah shinkansen, kereta super cepat di Jepang di zamanku, melintas tepat di atas kami.
“Itu hadiah dari Jepang,” kata Rian menjawab kebingunganku. “Di jepang sudah nggak dibutuhkan lagi. Di kita masih jadi alat transportasi umum favorit jika keluar kota.” Di sepanjang jalan itu aku terus saja melihat gedung-
gedung warna putih, jalan-jalan bersih dan rapi, langit cerah berawan, suhu yang cukup sejuk padahal tak terlihat banyak pohon. Aneh. Tak mungkin ini Indonesia.
***
SUDAH satu bulan. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan masa depan yang serba aneh ini. Indonesia ternyata nyaman sekali. Tak ada sampah di sembarang tempat. Tak ada bau yang mengganggu. Tak ada lagi penggusuran seperti yang sering kulihat di Indonesia masa lalu. Tak ada lagi demonstrasi yang ujung-ujungnya jadi acara baku hantam. Tak ada lagi anak sekoah yang terlihat bolos dan duduk- duduk di pinggir jalan. Tak ada lagi polisi yang suka memberi tilang. Bukannya tak pernah ada pelanggaran lalu lintas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar