Powered By Blogger

Jumat, 20 Juli 2012

Indonesia Masa Depan Part 3

Lumpur panas. Tercatat di tahun 2012, lebih dari lima puluh juta orang meninggal dalam berbagai bencana. Jumlah yang sangat besar.
Di Memori Hukum, fakta-fakta yang ada sedikit menggelitik. Mulai dari tahun-tahun lama. Ada orang-orang yang disidang dan akhirnya dipenjara berbulan-bulan sampai bertahun-tahun hanya karena mencuri sebuah semangka, mencuri tiga buah cokelat, mengambil nangka yang jatuh, memanjat kelapa seseorang tanpa izin, mencorat-coret tembok rumah orang, hal-hal kecil yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tak perlu rasanya masuk persidangan. Apalagi ketika pelakunya nenek-nenek, orang- orang yang sudah renta. Bisa-bisanya mereka dijebloskan ke penjara. Sementara itu orang-orang yang sudah dinyatakan korupsi bermilyar-milyar, bahkan trilyunan, masih bebas berkeliaran di luar negeri. Bahkan di negeri sendiri, seorang penyanyi yang telah ditetapkan sebagai tahanan, masih bisa mengajukan dispensasi untuk konser. Paradoks.
Beralih ke tahun-tahun baru. Sedikit berbeda. Sedikit menyenangkan. Tak ada lagi koruptor yang bebas berkeliaran. Siapapun yang terbukti korupsi, dikejar sampai tertangkap. Tak peduli seberapa besar korupsinya, tak peduli seberapa terkenal orangnya, tak peduli seberapa jauh tempat dia kabur, semuanya dikejar. Hasilnya, Indonesia jadi bersih dari korupsi karena semua orang mulai takut untuk korupsi. Dampak lainnya, penjara semakin padat saja, sampai-sampai pemerintah harus membangun penjara-penjara baru.
Total tahanan korupsi Indonesia ternyata mencapai angka tujuh puluh juta orang. Lebih besar daripada angka kematian akibat bencana. Ironis sekali. Pantas saja Indonesia jadi sepi manusia. Belum lagi aparat yang tegas memberantas segala
tindak kekerasan dan keasusilaan. Preman-preman pasar, orang-orang mabuk, para penjudi, pelacur, copet, mereka ditangkap dan ditempatkan di lingkungan rehabilitasi. Mereka hidup terpisah dari masyarakat. Dengan begitu, yang hadir di antara kita setiap harinya, adalah orang-orang baik, mereka yang tak terjerat hukum dan kejahatan. Jadi semakin sedikit saja warga Indonesia. ***
HANYA enam orang yang akhirnya kembali. Empat orang lainnya enggan. Mereka sudah enjoy dengan kehidupan yang serba nyaman. Tak mau kembali ke kehidupan yang serba sulit. Dasar. Aku termasuk yang enam orang. Sudah kukatakan aku rindu ayah dan ibu. Bagaimana kondisi mereka sekarang? Aku memeluk Rian untuk terakhir kalinya. Berterima
kasih karena telah menjadi sahabat yang baik selama satu tahun ini. lalu seperti prosedur keberangkatan sebelumnya, kami diharuskan meminum pil dan tertidur di kapsul.
***
TAHUN 2009. Kami berenam kembali. Professor Arman menyambut kami. Dia tampak berbeda dengan kumis dan jenggot di wajahnya. Setelah menyelesaikan urusan administrasi dan surat-surat lainnya, kami berpisah dan pergi menuju rumah masing-masing.
Panas. Debu. Jalanan dipenati bau bensin dan bunyi klakson. Macet. Aku sudah kembali ke kehidupan yang kubenci. “Copet! Copet!” seorang wanita berteriak. Lalu sekejap saja beberapa orang berlari mengejar orang yang diduga copet itu. Aku malas memperhatikannya. Di dalam bus ini saja sudah panas minta ampun. Ditambah asap rokok. Bau keringat. Ah, aku mual. Terbiasa dengan keadaan yang serba bersih.
Di depan rumah lumayan agak sejuk karena masih ditumbuhi beberapa pohon. Ibu yang kebetulan sedang mengepel teras depan begitu terkejut ketika melihatku tersenyum melambai-lambaikan tangan. Segera saja ia menghambur dan memelukku. Tak lama Ayah pun keluar. Lalu mulai gerimis. Dan kami pun masuk ke rumah.
Maka aku kembali menjalani hari-hariku persis seperti tahun lalu. Hampir di setiap hari menghirup asap rokok di angkot-angkot yang kutumpangi. Di trotoar-trotoar masih saja banyak orang mengemis. Di lampu-lampu merah, anak-anak kecil masih dimanfaatkan untuk mengeruk uang dengan mengamen. Dan macet, lagi-lagi macet. Padahal jalan sepertinya sudah lebih lebar dari tahun lalu, tapi para pengemudi jadi rakus membuat barisan mobil di jalan ini jadi tiga. Padahal kalau hanya dua baris, rasanya akan lancar- lancar saja. Dasar. Kita orang Indonesia masih saja serakah dan malah menyalahkan polisi lalu lintas atas kemacetan ini.
Malam hari di televisi ada berita mengenai demonstrasi di Jakarta. Rupanya demonstrasi masih saja jadi acara rutin yang variatif. Ada macam-macam alasan untuk diangkat jadi tema demonstrasi. Ada macam-macam cara pula melakukannya. Dan ada macam-macam kelompok yang isinya mungkin hanya orang-orang yang haus perhatian, yang ingin sekedar muncul di televisi. Kali ini yang berdemonstrasi adalah para orang tua yang tak mendapatkan kembali anaknya setelah setahun pergi ke masa depan. Masalah ini jadi serius ketika seorang wanita separuh baya berorasi dengan pedih sampai-sampai keluar air matanya dan pingsan. Dan situasi jadi kacau ketika seorang aparat tak bisa menahan emosinya dan mendorong seorang ibu hingga jatuh. Lantas saja kerumunan manusia itu ribut. Beberapa orang meminta aparat itu untuk meminta maaf. Tapi aparat itu malah memandang dengan angkuhnya kerumunan orang itu. Bahkan ia balik berteriak. Dan aparat-aparat lain mulai datang membantunya. Dan ketika kerumunan orang itu mulai mendorong-dorong barisan, aparat-aparat itu tak segan- segannya memukul, menendang, melepaskan gas air mata.
Betapa kacaunya Indonesiaku ini. Seandainya para orang tua itu tahu seperti apa Indonesia di masa depan, mereka mungkin akan paham mengapa anak-anaknya itu tak mau kembali. Dan setiap kali kuingat lagi betapa tenang dan damainya Indonesia di masa depan, yang orang-orangnya ramah dan murah senyum, yang aparat-aparatnya bekerja secara manusiawi, Indonesia yang bebas dari segala bentuk kekerasan, aku jadi muak dengan berita yang kulihat ini. Dan Ayah melahap berita ini dengan santai d sofa, seakan-akan kekerasan adalah hal biasa yang ditemukan setiap hari. Ah, rasanya aku ingin kembali ke masa depan saja.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar